Oleh: Ady Amar
Gonggongan anjing malam yang terus menerus, tentu membuat tetangga naik pitam. Lalu memprotes si pemilik anjing untuk menghentikan gonggongan itu. Sebentar kemudian anjing itu terdiam sesaat.
Tidak lama kemudian, anjing itu menggonggong lagi dengan lebih kencang. Proteslah tetangga itu lagi, dan lagi. Begitu terus menerus. Berhenti sebentar menggonggong, dan kemudian menggonggong lagi dengan volume yang makin keras.
Protes tetangga tidak menjadikan pemilik anjing, dan apalagi anjing itu jadi segan. Merasa biasa saja, merasa seolah tidak ada yang salah. Meski yang protes tetangga sekomplek.
Maka dicobalah protes itu disampaikan pada pihak-pihak yang sekiranya dapat mendengar suara protes itu. Bahkan suara protes bergemuruh hingga di luar komplek perumahan itu.
Meski upaya kuat dilakukan, upaya untuk menghentikan gonggongan anjing itu tidak juga menemukan hasil. Anjing itu terus menggonggong dan terasa makin keras gonggongannya.
Salah seorang yang dituakan di komplek perumahan itu, tampak kehilangan kesabaran. Dan seperti mengeluarkan nada ancaman. Katanya, apabila gonggongan anjing itu terus dibiarkan tanpa ada upaya menghentikannya, jangan salahkan jika warga mengambil jalannya sendiri untuk menghentikan.
Ternyata, meski “ancaman” itu disampaikan dengan nada geram, dan rasa geram itu juga dirasakan warga lainnya, tapi anjing itu tetap saja menyalak menggonggong saban waktu tanpa merasa kecapean.
Pemilik anjing itu pun biasa-biasa saja, dan tanpa menanggapi adanya ancaman dan protes bertubi-tubi warga. Protes warga itu sudah tidak dirasanya beban apalagi sungkan. Dianggap angin lalu saja.
Upaya-upaya mediasi menggunakan aparat komplek pun tidak juga membuahkan hasil. Anjing piaraan tetangga itu tetap menyalak menggonggong, dan dengan gonggongan yang makin tidak biasa.
Kesabaran Ada Batasnya
Ada yang pantang diusik dalam hidup sosial kemasyarakatan. Itu semacam kesepakatan tertulis, apa yang boleh dan tidak boleh, dan yang tidak tertulis, tapi sudah jadi pemahaman bersama (konvensi).
Bersandar pada itu, maka harmoni dalam masyarakat pun muncul mengisi ruang kehidupan. Semuanya menjadi nyaman, saling menghargai satu dengan lainnya.
Kehidupan tidak memberi ruang sedikit pun pada sikap-sikap intoleran atas Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Jika ada yang melanggar, maka negara harus hadir menyelesaikannya.
Dalam kasus-kasus itu, negara hadir tidak menunggu adanya laporan, atau protes yang sampai mendatangkan beribu orang, baru ditanggapi. Tidak mustahil akan memunculkan amuk massa yang tidak diinginkan.
Kasus rasisme yang dialami pegiat kemanusiaan Natalius Pigai, yang dilakukan politisi (Ruhut Sitompul), buzzer (Permadi Arya dan Ambroncius Nababan), dan bahkan dilakukan pula oleh seorang bergelar profesor (Yusuf Leonard Henuk), itu tidak boleh terjadi.
Baru Ambroncius Nababan yang diperiksa, ditetapkan sebagai tersangka. Bagaimana dengan pelaku rasisme lainnya. Maka muncul “protes” dari Ketua Umum DPP KNPI, Haris Pertama, meminta polisi juga tegas pada Abu Janda, yang juga melontarkan pernyataan rasis pada Natalius Pigai (26/1/2021).
Permadi Arya, atau biasa menyebut diri dengan Abu Janda, kerap melontarkan pernyataan yang entah apa ia sendiri fahami atau tidak. Pernyataan asal pernyataan, yang penting kontroversial, meski tidak bermutu.
Tidak masalah pernyataannya tidak bermutu, memang kapasitasnya cuma segitu, lalu mau diapakan lagi? Sebenarnya pernyataan tidak bermutu itu urusannya sendiri, tidak masalah. Tapi jika nyerempet masalah SARA, itu jadi bermasalah.
Pernyataan yang dilontarkan, memang semacam didisain untuk membuat umat Islam marah, lalu bersikap. Itu semacam melempar stimulus dan berharap direspons. Stimulus yang dilempar makin ngaco, berharap umat akan merespons dengan keras.
Pernyataan terbaru yang dilontarkan lewat Twitter, (24/1/2021), itu bisa jadi bagian dari skenario menutup persolan besar yang dialami bangsa ini. Lalu agama Islam yang disasar dipakai “mainan” secara nekat.
Orang bertanya, apa sih agama si Abu Janda itu? Dan Ustad Tengku Zulkarnain menyatakan, “Jika muslim, ia telah murtad,” dengan nada geram.
“Yang arogan di Indonesia itu adalah Islam, sebagai agama pendatang dari Arab, kepada budaya asli kearifan lokal. Haram-haramkan sedekah laut, sampe kebaya diharamkan dengan alasan aurat.”
Mana ada orang Islam menyebut agama yang dianutnya itu arogan. Lalu kenapa ia masih mengakui Islam sebagai agama yang dipeluknya. Aneh.
Karenanya, apa yang disampaikan Abu Janda, ini hal sensitif dan berbahaya jika dibiarkan. Mestinya negara melihatnya ini sebagai potensi distabilitas. Langkah antisipatif diperlukan.
Maka, sikap Ustad Tengku Zulkarnain meminta aparat kepolisian untuk bertindak, sebelum umat “memilih jalannya sendiri”, adalah bentuk kehati-hatian yang perlu diapresiasi aparat.
Agama apa pun tidak boleh dibuat main-main, candaan atau apalagi hinaan. Umat akan membela keyakinannya tanpa rasa takut sedikit pun. Inti dari nasehat Ustad Tengku Zul itu, bahwa kesabaran umat itu ada batasnya.
Baiklah, mau tahu akhir kisah dari anjing tetangga yang terus menggonggong itu? Anjing itu akhirnya mati mengenaskan, dengan lidah menjulur. Entah anjing itu mati oleh sebab apa.
Polisi lalu datang memeriksa, apakah ada unsur pembunuhan berencana atasnya. Tidak ditemukan sedikitpun luka-luka. Maka perlu dilakukan autopsi untuk memperjelas sebab kematiannya, tapi sang Tuan menolaknya.
Spekulasi kematian anjing, musuh orang sekomplek perumahan, itu terus dibiarkan menggantung, supaya kematian anjing itu tetap misteri, bahwa ada yang membunuhnya. Motif sang Tuan si pemilik anjing memang jahat, bahkan lebih jahat dari anjingnya!*
Kolumnis, tinggal di Surabaya
Sumber : www.hidayatullah.com