Bicara “Cebong” dan “Kampret” harus adil, tidak merendahkan orang yang berbeda pilihan politik dengannya
Oleh: Mahladi Murni
Dikuti dari Hidayatullah.com | PESTA demokrasi selalu diwarnai oleh pembelahan masyarakat. Pada pilpres tahun 2019, misalnya, masyarakat terbelah menjadi dua kubu besar berdasarkan dua paslon yang sedang bertarung. Ada kubu yang disebut “cebong”, ada pula kubu yang disebut “kampret”.
Lalu bagaimana sikap kita terhadap fenomena pembelahan masyarakat seperti ini? Menarik penjelasan Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Habib Nabil al-Muﷺwa, saat memberikan materi al-wasathiyah pada acara Standardisasi Dai MUI Angkatan ke-18, Senin, 28 November 2022, di Wisma Mandiri, Jakarta.
Menurut Habib Nabil, kita tak bisa memaksa masyarakat untuk punya pilihan politik yang sama. Negara justru menjamin kebebasan masyarakat untuk memilih pasangan calonnya sendiri-sendiri.
Karena itu, kata Habib Nabil, fenomena terbelahnya masyarakat berdasarkan pilihannya seperti “cebong” dan “kampret” sebetulnya wajar-wajar saja. Yang menjadi masalah adalah ketika keberpihakan tersebut menjadikan seseorang berperilaku ekstrim dan jauh dari sikap adil.
“Seharusnya, kalau mau jadi cebong, jadilah cebong yang adil. Begitu juga kalau mau jadi kampret, jadilah kampret yang adil,” tutur Habib Nabil. Adil inilah gambaran dari sikap al-wasathiyah.
Istilah wasathiyah, bila dirunut dari bahasa aslinya, yaitu wasatha, mempunyai beberapa arti. Satu di antaranya adalah adil.
Orang yang adil adalah orang yang menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya. Majikan yang adil, misalnya, akan membayarkan upah karyawannya sesuai dengan kesepakatan di antara keduanya, baik jumlah maupun waktu.
Begitu pula seorang hakim yang adil, akan membuat keputusan yang obyektif sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya. Kebalikan dari adil adalah zalim.
Orang yang zalim biasanya akan berbuat sekehendaknya. Ia tak peduli dengan aturan agama. Ia akan melanggar kesepakatan yang telah dia buat. Sikap seperti ini sudah pasti akan menyakiti dan merugikan orang lain.
Selain itu, kata wasathiyah juga bermakna pertengahan. Artinya, tidak terlalu ke kiri, tidak juga terlalu ke kanan. Singkatnya, wasathiyah bermakna tidak berlebih-lebihan.
Dengan demikian, kembali kepada pernyataan Habib Nabil, “cebong” yang adil atau “kampret” yang adil tak akan mungkin menebar hoaks, apalagi fitnah, menghina dan merendahkan, terlebih lagi membuat makar.
“Cebong” dan “kampret” yang adil sudah pasti berbicara sesuai fakta, tidak berlebihan dalam menilai sesuatu, dan tidak pula merendahkan orang yang berbeda pilihan politik dengannya.
Nah, jika semua anak bangsa sudah mampu berbuat adil, termasuk kontestan pemilu dan penyelenggara pemilu, maka tak akan ada lagi kekhawatiran pesta demokrasi kelak akan berakhir ricuh. Wallahu a’lam. *
Penulis anggota pengurus MUI Pusat
Rep: Admin Hidcom