BERDASARKAN data Kementerian Komunikasi dan Informasi (2021), jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta orang. Jadi, kalau jumlah penduduk Indonesia menurut laporan Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) per-tahun 2021 adalah 273,87 juta, berarti sekitar 70 persen dari penduduk kita adalah para pengguna internet.
Budaya ini menjadikan ponsel beserta paketnya menjadi kebutuhan primer dalam dunia riil dan dunia maya. Informasi dari belahan dunia manapun bisa diakses dalam hitungan menit dan detik, kapanpun di manapun.
Berbagai aktivitas yang biasa dilakukan secara konvensional, sekarang sudah beralih ke sistem digital. Namun, jika semua ini tidak diiringi dengan kemampuan untuk melek dalam teknologi informasi (literasi digital), maka akan menjadi malapetaka dan kesialan besar bagi para penggunanya.
Betapa tidak. Misalnya secara ekonomi, jika pengguna medsos ceroboh dan tidak berhati-hati dalam mengakses tautan-tautan (link) yang tersebar liar di media sosial, maka akan mudah malware, spam, dan sistem jaringan jahat tiba-tiba nongol, menguasai sekaligus mencuri data-data penting. Inilah yang sering dijumpai saat ponsel disadap atau digunakan seseorang untuk berbagai kepentingan tanpa disadari oleh pemiliknya.
Dari pintu inilah biasanya dimulai kejahatan digital yang bisa menjadi awal kesialan ekonomi. Bayangkan jika nomor-nomor penting yang ada di ponsel, seperti nomor PIN, ATM, atau nomor-nomor rahasia lain bisa diakses orang dari jarak jauh, dan kemudian digunakan untuk kejahatan perbankan seperti menguras saldo, maka kesialan ekonomi sangat mungkin akan menimpa siapapun.
Selain itu, kita juga mengenal “algoritma”, yakni sistem otomatisasi rekomendasi untuk keberlanjutan pencarian. Jika seseorang sudah terjebak dalam sistem ini, maka konten dunia maya yang luas akan dipersempit dan lambat laun akan mempersempit pola pikir seseorang.
Imbasnya, jika seseorang memiliki pemikiran sempit dalam berideologi atau beragama, ia akan semakin menjauh dari sifat moderat dan gampang menyalah-nyalahkan pihak lain, seenaknya menuduh orang sebagai PKI, kafir, sesat dan seterusnya. Terbukti, tidak sedikit orang di era milenial ini yang seenaknya belajar agama, lalu secara tiba-tiba pola pikirnya berubah secara drastis.
Semangat beragama tiba-tiba melejit naik, namun di sisi lain dengan gampangnya menyalah-nyalahkan pihak lain yang tidak sepaham dengannya. Mereka juga bisa mendadak rajin melakukan propaganda melalui konten-konten ceramah di Youtube, atau membagi-bagikan konten radikal yang mampu memicu tindakan ekstrimisme dan terorisme.
Karena itu, era post-truth (pasca kebenaran) dapat dipelintir sedemikian rupa, sehingga sesuatu yang benar bisa dipersalahkan, karena memang dipropagandakan sebagai suatu kesalahan. Sebaliknya, kesalahan besar pun bisa dianggap sebagai kebenaran, karena memang gencar didengung-dengungkan sebagai sebuah kebenaran.
Hal lain yang merugikan, lantaran kesibukan berselancar di medsos. Bahwa manusia adalah makhluk sosial yang nyata dan riil bersentuhan dengan masyarakat sosial.
Banyaknya waktu yang tersita membuat orang lupa dengan hak-hak dan kewajibannya di dunia nyata. Misalnya mendidik anak, istri dan orang-orang sekitar.
Mereka lebih nyaman menghabiskan waktu dengan ponselnya, bahkan mengejar konten medsos yang menjadi motif utamanya. Kepekaan dan kepeduliannya lambat laun menjadi tumpul. Dan berapa banyak insiden kecelakaan di jalanan, karena pengemudinya tak mampu mengendalikan fokus saat menggunakan ponsel.
Begitupun saat ada musibah, bencana atau kejadian alam, masyarakat lebih sibuk untuk lebih dulu mendokumentasikannya, ketimbang mengutamakan jiwa sosialnya. Banyak kasus yang terkait dengan bencana yang dijadikan konten medsos untuk mengejar target jumlah penonton, atau keuntungan finansial.
Secara moral, mental semacam ini adalah malapetaka bagi kemanusiaan, maupun dalam ajaran agama apapun. Suatu pembiaran yang menjadi budaya dan peradaban, dan dianggap legitimate secara umum.
Belum lagi soal urusan rahasia pribadi, internal rumah-tangga yang mestinya disimpan dengan baik, namun diumbar menjadi ghibah dan fitnah. Perdebatan sering muncul lantaran sama-sama tak bisa menahan diri untuk menggerakkan jari-jemarinya.
Tak peduli suami atau istri, anak atau orang tua, saudara, kerabat atau tetangga. Dulu dikenal istilah “mulutmu adalah harimaumu”, kini telah bergeser menjadi “jarimu adalah bencanamu”.
Di sisi lain, ketika seseorang mengunggah status atau memberi komentar, bisa saja ia terlena melakukan perbuatan melawan hukum. Sudah banyak contoh kasus yang terjadi akibat menyebar hoaks, ujaran kebencian, fitnah, yang mengakibatkan seseorang harus berurusan dengan pihak kepolisian.
Bukan hanya faktor kesengajaan, faktor ketidaksengajaan maupun iseng pun bisa saja menjadikan seseorang berurusan dengan hukum, karena ada pihak yang merasa dirugikan. Berapa banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ikut-ikutan menyebarkan nada nyinyir dan kebencian terhadap pemerintah. Padahal, ia dan keluarganya hidup dari gaji pemerintah dan memiliki komitmen untuk setia pada kebijakan pemerintah.
Saat ini, mudah bagi pihak aparat untuk mendapatkan bukti-bukti terjadinya pelanggaran. Jejak digital dengan mudah bisa diakses dan menjadi petunjuk untuk melanjutkan laporan yang diterima. Penegak hukum juga sudah memiliki dasar dalam menegakkan hukum di dunia maya, yakni Undang-undang nomor 11 Tahun 2008, tentang Informasi dan transaksi elektronik (UU ITE). Dalam UU ini disebutkan pada pasal 45A ayat (1):
“Setiap orang yang sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik bisa dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.”
Risiko dan konsekuensi dari bermedia sosial juga menciptakan jarak antara hubungan murid dan guru, di samping anak dan orang tua. Pembelajaran daring tampaknya kurang efektif sebagai sarana belajar, juga tidak efektif untuk mencapai hasil dari pendidikan dan pengajaran.
Moral generasi muda menjadi taruhan karena minim pendidikan tentang kedisiplinan, kepribadian, teladan yang mumpuni dari para guru dan orang tua. Secara psikologis kurang menciptakan kemandiran, serta daya juang yang lemah bagi anak-anak didik.
Pengawasan yang rendah dari para orang tua menjadikan anak-anak mereka dengan gampangnya mengakses konten-konten asusila, pornografi, maupun kekerasan dalam rumah-tangga. Karena itu, pantas dinyatakan bahwa, tidak sedikit orang tua yang tega memukul anaknya karena telah merusak ponselnya. Tetapi, jarang sekali orang tua yang berani memukul ponsel yang telah merusak moral anak-anaknya.
Kita pun masih ingat ungkapan penulis novel Pikiran Orang Indonesia saat peluncuran bukunya di pesantren Al-Bayan: “Saat ini begitu ramai orang mengejar target untuk status sosial dan pundi-pundi uang, hingga nyaris sulit kita temukan orang yang mau serius membangun peradaban bangsa ini.” (baca: www.kompas.id, 14 November 2021)
Karena itu, berhati-hatilah dan bersabarlah. Jagalah anak-anak kita agar mental dan jiwanya tidak rusak. Sebab, kapal tidak akan rusak dan tenggelam lantaran banyaknya air samudera yang mengelilingnya, tetapi ia akan tenggelam jika kita membiarkan air masuk karena adanya kebocoran yang terus-menerus kita biarkan. Ayo, kita tutup kebocoran itu, dan mulailah dari diri sendiri, saat ini, mumpung kebocoran itu belum memecahkan kapal Titanic yang terbelah menjadi dua.*/Supadilah Iskandar, esais generasi milenial
Sumber : www.hidayatullah.com