Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
Seperti kudapan yang menggoda selera, sedikitnya tak mengenyangkan, banyaknya tak memuaskan. Maka mata yang lapar tak henti menatap layar dengan pandangan nanar, memantau perubahan-perubahan tak berarti tiap sebentar, seakan begitu pentingnya. Sementara anak yang semenjak tadi menanti sapaan, sampai tertidur pulas di sudut kamar dengan memegangi boneka yang meskipun tak dapat berbicara, tetapi selalu bersedia untuk menemaninya menjemput mimpi di pembaringan maupun "mimpi" saat terjaga. Kadang tipis sekali perbedaan antara tidur dan terjaga, karena banyak orangtua yang sama-sama tak memberikan waktu maupun telinganya untuk mendengarkan (bahkan sekedar mendengar) pengalaman berharga dari Sang Buah Hati selama berada di sekolah semenjak pagi hingga petang hari.
KLIK DI SINI : Info Murid Baru 2020/2021Sebagian kudapan itu sedikitnya mengenyangkan, sehingga merasa tak perlu lagi asupan gizi untuk menegakkan punggung. Serupa itu pula ketika kita memuaskan diri menuntut ilmu hanya dari status media sosial. Merasa telah kenyang, bahkan kekenyangan ilmu, padahal kecukupan gizinya masih jauh dari kata cukup. Tetapi jiwa yang merasa kenyang oleh kudapan "ilmu" segera merasa telah menguasai apa saja sehingga memudahkan setiap yang kekenyangan oleh kudapan media sosial itu untuk mengomentari apa saja seumpama pakar, bahkan untuk bidang yang ia paling awam terhadapnya. Berbekal mendengar beberapa potongan video dan broadcast yang sedang viral, tiba-tiba saja begitu mudah diri ini tampil vokal. Sigap sekali mengomentari apa saja, sementara anak-anak yang kelelahan menanti tulusnya perhatian mulai belajar bahwa yang paling sabar memberinya tanggapan adalah gawai seperti yang dipegang bapak ibunya. Gawai yang apabila anak salah mengetik, tak pernah mencela. Hanya menunjukkan "mungkin yang kamu maksud adalah....".
Di atas angkasa aku termangu. Pikiranku melayang mengingat ibuku yang dulu senantiasa sigap datang menyambut tiap aku datang, lalu menunjukkan perhatiannya seolah di dunia ini hanya aku yang perlu ia dengarkan sepenuh perhatian. Airmataku jatuh mengingat anakku satu per satu. Alangkah jauh diriku sebagai orangtua dengan nenek mereka, bahkan sebelum nenek mereka menjadi nenek.
Anak-anak tak akan risau mencari gawai andai saja kedua telinga kita masih berfungsi dengan baik, masih terhubung dengan hati, saat kita berada di antara anak-anak kita. Kalau saja komunikasi yang hangat benar-benar mereka rasakan saat berdekatan dengan kita, maka mereka akan lebih suka berbicara dengan ibunya daripada dengan dunia maya.
Gawai itu alat komunikasi. Tetapi apalah artinya jika tak ada komunikasi insani justru saat memegang gawai.
Mohammad Fauzil Adhim, Guru dan Motivator